Jumat, 20 September 2013

Daya Saing Industri di Indonesia


Mebel Jepara | Semakin liberalnya perdagangan dunia akan menuntut peningkatan daya saing produk industri di Indonesia di pasar global. Kemampuan bersaing produk Indonesia harus dipahami keterkaitannya dengan sektor hulu dan hilir serta perlu dirumuskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dengan melakukan komparasi terhadap industri negara-negara lain. Krugman dan Obstfeld dalam bukunya, International Economics (2006), berpendapat bahwa kemakmuran nasional dapat diperoleh melalui perdagangan internasional yang memberi manfaat saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang menjual dan membeli. Melalui perdagangan akan dihasilkan surplus produsen dan konsumen. Produsen akan mendapat kesempatan menjual produk yang dihasilkannya ke lebih banyak konsumen .

Demikian juga konsumen dapat menikmati berbagai produk yang tidak dihasilkan oleh produsen lokal.Keunggulan komparatif mungkin saja merupakan inti dari teori perdagangan dan spesialisasi, tetapi tidak selalu berhubungan erat dengan diskusi mengenai daya saing yang terjadi di dunia nyata. Contoh nyata adalah fenomena. Kemakmuran suatu negara haruslah diusahakan. Michael E. Porter dalam bukunya yang berjudul The Competitive Advantage of Nations (1990) juga menegaskan bahwa kemakmuran negara bukanlah merupakan sebuah warisan. Kemakmuran tidak bergantung dari melimpahnya sumber daya alam, tenaga kerja, tingkat suku bunga,ᅡᅠataupun nilai tukar mata uang asing, seperti halnya yang diutarakan kaum ekonom klasik yang mengagungkan pentingnya perdagangan.

Daya saing negara bergantung dari kapasitas industri negara tersebut untuk terus berinovasi dan berkembang. Oleh karena itu, meskipun diyakini memberi banyak manfaat, sebagian orang berpandangan skeptis tentang manfaat yang didapatkan melalui perdagangan, khususnya perdagangan internasional. Perdagangan internasional juga membuat khawatir produsen dalam negeri atas keberadaan pasar dari barang yang diproduksinya, oleh karena itu sejak zaman klasik sampai sekarang masih saja ada kesangsian, tidakkah lebih baik kalau penduduk dari negara tertentu membeli produk yang dihasilkan negaranya sendiri karena akan menciptakan lapangan kerja.

Perdagangan internasional yang mendorong terjadinya globalisasi ditandai dengan semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, perdagangan, reformasi politik, transnasionalisasi sistem keuangan, dan investasi. Indonesia mengikuti arus perdagangan bebas internasional dengan menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menghasilkan pembentukan World Trade Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan investasi yang berlaku penuh pada tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 bagi negara berkembang.Melalui berbagai kesepakatan internasional tersebut, sudah tentu mau tidak mau akan tercipta persaingan yang semakin ketat, baik dalam perdagangan internasional maupun dalam upaya menarik investasi multinasional. Ekspor produk Indonesia ke pasar internasional masih banyak bersifat produk tradisional dalam bentuk bahan baku (raw material). Pelaku usaha agribisnis Indonesia dalam pasar internasional pasti akan menghadapi pembeli besar berupa importir atau industri pengolahan lanjutan. Posisi semacam ini cenderung menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah karena besarnya volume pembelian yang dilakukan oleh pasar industri dan sedikitnya jumlah pembeli. Kelemahan ini semakin menumpuk karena adanya kecenderungan atas homogenitas produk yang kita hasilkan dengan produk yang dihasilkan oleh negara lain.

Posisi Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas dunia relatif kurang menguntungkan. Seiring dengan semakin liberalnya perdagangan dunia, Indonesia harus meningkatkan kemampuan bersaingnya di pasar global. Pasar global dapat bermakna pasar internasional di negara lain dan pasar dalam negeri yang sudah semakin dipenuhi dengan produk impor. Melihat kondisi perekonomian Indonesia dikhawatirkan dampak globalisasi akan memberi dampak negatif bagi Indonesia, terutama kalau Indonesia tidak mampu menjadi pemasok bagi kebutuhan produk vital, seperti pangan. Publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh World Economic Forum pada tahun 2010 menunjukkan bagaimana daya saing Indonesia dalam persaingan global. Pada tahun 2010, peringkat daya saing Indonesia berdasarkan Growth CompetitivenessᅠIndex berada di urutan ke¬タモ54 dari 133 negara. Peningkatan daya saing perlu mendapat perhatian karena punya potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Ketersediaan pasokan bahan baku, tenaga kerja, dan teknologi yang relatif melimpah semestinya mampu dikembangkan lebih jauh. Menurut penelitian yang dilakukan Asia Development Bank (ADB) Institute (2003), daya saing berarti kemampuan perusahaan untuk bersaing. Perusahaan memiliki strategi tersendiri untuk menurunkan biaya, meningkatkan kualitas produk, dan mendapatkan jaringan pemasaran.

Pengembangan industri membutuhkan peningkatan daya saing di pasar domestik dan internasional. Daya saing produk Indonesia memang perlu mendapat perhatian dan secara sistematis harus ditingkatkan sebagai salah satu cara membangun perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, dalam kaitan ini perlu diketahui ukuran daya saing industri Indonesia di pasar internasional sebagai landasan untuk melakukan analisis daya saing dan merumuskan upaya-upaya peningkatan daya saing dalam rangka pembangunan daya saing dan perekonomian nasional.Perkembangan perekonomian Cina yang sangat pesat saat ini mendapat perhatian seluruh negara di dunia, baik itu sebagai ancaman maupun peluang yang baru. Cina dianggap sebagai ancaman karena terkenal dengan komoditas-komoditas ekspor yang berkualitas tinggi, namun harganya relatif murah.

Murahnya produk Cina tidak hanya karena biaya input (terutama upah tenaga kerja) yang rendah, namun China juga memberlakukan nilai tukar yang tetap rendah (undervaluation of Yuan) terhadap mata uang dolar AS sebagaimana yang dituding oleh negara Amerika Serikat. Selain itu, pemberlakuan tax duty juga merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produk-produk ekspor Cina. Menurut hasil studi ASEANChina Working Group on Economic Cooperation, FTA ASEANCina diperkirakan dapat memberi keuntungan bagi kedua belah pihak. Ekspor ASEAN ke Cina akan meningkat sebesar 48 persen dan ekspor Cina ke ASEAN akan meningkat 55,1 persen. GDP riil ASEAN diperkirakan bertambah sebesar US$5,4 miliar (0.9 persen) dan GDP riil Cina akan meningkat sebesar US$ 2,2 miliar (0,3 persen). Kenaikan GDP anggota ASEAN terbesar akan dinikmati oleh Vietnam (2,15 persen), sedangkan Indonesia (1,12 persen) sedikit lebih rendah dari Malaysia (1,17 persen).

Butuh Komitmen Bangsa Menyelamatkan Industri.

Melihat kondisi yang ada, Indonesia perlu segera mempertajam orientasi kebijakan pembangunan industri, agar lebih searah dengan tantangan persaingan ke depan. Tanpa daya saing, potensi pasar Indonesiayang kini menduduki ranking 15 dunia hanya akan dinikmati produk asing.

Dengan jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah, Indonesia sangat membutuhkan keberadaan industri yang kuat, berdaya saing di pasar dalam negeri maupun global. Industri adalah kunci bagi peningkatan kualitas hidup bangsa, sekaligus kunci bagi ketahanan perekonomian nasional. Perlu kebijakan yang didukung seluruh pemangku kepentingan, untuk menempatkan pasar dalam negeri sebagai basis pengembangan industri dalam negeri.Oleh sebab itu dalam menghadapi diberlakukannya sistem Perdagangan Bebas/Liberalisasi Pasar Global (tidak hanya ACFTA), pemerintah diharapkan melihat masalah yang dihadapi industri nasional dalam sudut pandang yang lebih luas. Jangan hanya sekadar dengan langkah defensif/protektif, namun kita harus berpikir bahwa pertahanan paling baik adalah dengan kebijakan ofensif.

Dalam Roadmap Industri 2010-2015 yang diserahkan Kadin kepada pemerintah belum lama ini, disebutkan sejumlah rekomendasi tentang tindakan yang perlu ditempuh pemerintah bersama dunia usaha sebagai guideline. Ini diperlukan untuk menjaga dan menciptakan persaingan yang sehat, serta melakukan pengawasan lebih ketat terhadap peredaran barang di pasar domestik.Sesungguhnya banyak di antara produk industri nasional yang berdaya saing cukup bagus, bahkan mampu menembus pasar negara maju.  Namun, mereka sering kehilangan daya saing di pasar dalam negeri sendiri akibat iklim persaingan tidak sehat, baik akibat peredaran produk ilegal maupun karena tak adanya standarisasi produk. Produk domestik harus didorong agar dapat bersaing dengan barang impor. Untuk itu, program insentif industri harus terus dilanjutkan, seperti kebijakan pembatasan pelabuhan impor untuk produk/ komoditas tertentu. Di sisi lain, perlu larangan ekspor segala jenis bahan baku mentah agar industri lokal tercukupi kebutuhannya. Pengembangan industri hilir (pengolahan) juga harus dilanjutkan. Insentif pengembangan industri tertentu dan di daerah tertentu harus diperluas, termasuk memperkenalkan tax holiday (pembebasan pajak).Perlu terobosan percepatan proses dan penerapan standar nasional Indonesia (SNI), termasuk konsistensi pengawasan barang beredar. Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Departemen Perindustrian, per Januari 2009 hanya 84 produk industri yang menerapkan standar nasional Indonesia (SNI), dari sekitar 4.000 produk manufaktur yang beredar. Dari 84 SNI itu, hanya 39 produk yang telah diberlakukan SNI wajib dan sudah dinoti-fikasi ke WTO.Terobosan percepatan implementasi harmonisasi tarif dan berbagai kebijakan fiskalpun diperlukan. Dalam hal ini, berbagai instrumen fiskal yang memungkinkan untuk menekan biaya produksi dan biaya usaha perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing produk industri nasional. Misalnya, fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) serta bea masuk (BM) bahan baku dan bahan baku penolong.

Untuk menghadapi Perdagangan Bebas,  kita juga perlu mengoptimalkan berbagai kerja sama ekonomi bilateral seperti Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (U-EPA), khususnya untuk memperkuat Struktur Industri.. Dalam IJ-EPA a.l. disebutkan adanya keharusan Jepang untuk membantu capacity building sektor industri. Ini perlu dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan daya saing industri domestik.

Pemerintah juga perlu memperkuat peran dan fungsi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI),  karena selama ini komite ini kurang optimal. Padahal, perannya sangat penting agar Indonesia bisa menerapkan bea masuk antidumping  (BMAD), guna membentengi pasar dari persaingan tidak sehat berupa dumping (harga jual ekspor lebih murah dibanding ke pasar dalam negeri). Peran KADI kian penting karena sangat mungkin di tengah arus perdagangan bebas, banyak negara yang memberi insentif, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada industrinya, melalui berbagai kebijakan di dalam negerinya.

Selain itu perlu kemudahan akses pembiayaan bagi industri (untuk permodalan revitalisasi permesinan/pabrik) meski tingkat bunga kredit kecil kemungkinan dapat serendah di negara kompetitor. Perhatian perbankan terhadap sektor industri tergolong minim sehinggga pembiayaan untuk revitalisasi permesinan/pabrik sangat sulit diperoleh. Padahal revitalisasi sangat penting dilakukan untuk meningkat daya saing karena banyak diantara industri nasional yang mesin-mesinnya sudah tua.

Ke depan, mungkin dapat diusulkan pendirian bank khusus industri (contohnya seperti BEI untuk pembiayaan ekspor), yang diharapkan bisa memahami risiko dan kondisi industri. Dengan demikian, ada kesamaan persepsi antara perbankan dan pelaku industri.Selain itu juga perlu sinkronisasi pengembangan riset dan teknologi dengan industri agar kebijakannya sejalan dan fokus. Dalam hal ini harus ada insentif bagi industri yang melakukan pengembangan riset dan teknologi guna menarik investasi dengan teknologi yang lebih maju.

Dari sedemikian kompleksnya permasalahan yang di hadapi sektor industri manufaktur, hal yang paling mendesak diselesaikan segera adalah pembenahan masalah infrastruktur, termasuk jaminan pasokan energi. Pemerintah harus menjamin kecukupan pasokan energi (termasuk gas alam) dan memberi insentif terhadap setiap upaya diversifikasi energi yang lebih ramah lingkungan. Di sisi lain, percepatan realisasi infrastruktur lainnya yang sempat tertunda, terutama akses jalan dari/ke pelabuhan dan kawasan industri, juga harus diselesaikan. Dalam hal ini, sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah perlu ditingkatkan. Ini dilakukan agar bisa terwujud percepatan pembangunan infrastruktur dan jaminan pasokan energi seperti listrik. Yang juga tak kalah penting, seharusnya ekonomi biaya tinggi harus bisa dihilangkan, jika industri kita diharapkan bisa bersaing .

Terima Kasih sudah membaca artiker jelek ini .
Promo : Jika anda ingin membeli barang furniture silakan kunjungi Hasan Mebel Jati, di sana banyak sekali beberpa pilihan furniture jepara dengan kualitas terbaik .